MALANG – Seminar Nasional yang digelar Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) Malang berlangsung hangat pasalnya tema yang dibahas yakni mengenai rancangan Rancangan KUHAP dalam Perspektif Keadilan Proses Pidana: Menggali Kelemahan dan Solusi ini diselenggarakan di Auditorium Gedung A Lantai 6 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Rabu (12/09).
Dalam Seminar Nasional ini menghadirkan pemateri diantaranya Dr Aan Eko Widiarto, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr Muhammad Rustamaji, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Dr Erma Rusdiana SH MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Prof. Dr Sudarsono, SH, MH selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Dr. Prija Djatmika, SH, MH selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Para ahli hukum ini berkumpul untuk mengulas dampak dari rancangan Rancangan KUHAP tersebut, sambil mengundang para pakar hukum, praktisi hukum, jurnalis dan mahasiswa agar turut memberikan perspektif terkait manfaat dan kerugiannya serta menggali kelemahan dan solusi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya , Prof. Dr Sudarsono, SH, MH
mengkritisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP). Ia menilai rancangan tersebut perlu diperbaiki sebelum disahkan agar tidak terjadi kontroversi atau tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan.
Menurutnya, jika tidak dilakukan harmonisasi secara matang, pembahasan RUU ini bisa memicu konflik kewenangan antar-institusi.
”Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Rancangan KUHAP) ini kalau tidak diluruskan dan dibatalkan berpotensi memperumit pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,” ujarnya, Rabu (12/02).
“Kami khawatir ini akan menjadi ‘perang RUU’. Semoga tidak terjadi, tetapi inilah tugas akademisi, memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan agar tidak terjadi over kewenangan atau tumpang tindih antara satu RUU dengan lainnya,” imbuhnya.
Dalam draf RUU Kejaksaan, ada sejumlah poin yang berpotensi memperluas kewenangan lembaga tersebut, termasuk dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Padahal, secara hukum, penyelidikan dan penyidikan merupakan tugas utama kepolisian.
Sementara itu, Dr Muhammad Rustamaji, SH, MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret juga menambahkan jika kewenangan ini diperluas tanpa batasan yang jelas, hal ini dapat menimbulkan gesekan di lapangan antara Jaksa dan Polisi.
“Dari sisi kewenangan, RUU Kejaksaan memberikan ruang cukup besar bagi lembaga ini untuk melakukan proses-proses mulai dari penyelidikan hingga penyidikan. Padahal, secara alami, ini adalah fungsi dari kepolisian,” jelasnya.
Di sisi lain, revisi Rancangan KUHAP juga harus dipastikan tetap menjaga keseimbangan dalam proses hukum. Salah satu poin utama dalam RUU ini adalah adanya usulan peran hakim komisaris, yang berfungsi sebagai pengawas tindakan aparat penegak hukum agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
“Di Rancangan KUHAP nanti kita lihat lagi bagaimana pengaturannya. Jangan sampai ada pasal yang justru melemahkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum. Semua ini perlu ditempatkan secara proporsional,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Prof.Dr.Pujiyono, SH, MHum selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang ditunjuk sebagai keynote speaker dalam seminar tersebut juga
menegaskan serta mengingatkan bahwa penyusunan RUU ini harus dilakukan dengan cermat agar tidak melahirkan lembaga dengan kewenangan terlalu besar atau super body, yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
“Jangan sampai RUU ini menjadikan satu lembaga menjadi super body. Ini berbahaya sekali. Independensi kejaksaan dan kepolisian harus tetap terjaga agar optimal, tanpa intervensi politik yang berlebihan,” tegasnya.
Independensi menjadi aspek penting dalam sistem peradilan pidana, mengingat lembaga seperti kejaksaan dan kepolisian kerap berada dalam tekanan politik.
“Apakah sekarang mereka belum independen? Tidak juga. Tapi dalam beberapa hal, intervensi politik bisa cukup kuat menekan lembaga-lembaga ini. Oleh karena itu, independensi mereka harus diatur dengan baik dalam pasal-pasal yang ada,” lanjutnya.
Selain kewenangan, dirinya juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam institusi kejaksaan dan kepolisian. Ia menekankan bahwa setiap proses hukum harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan profesionalisme.
Ia juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam rekrutmen dan promosi di lembaga penegak hukum. Menurutnya, sistem ini harus diatur lebih rinci dalam undang-undang agar tidak terjadi nepotisme atau penyalahgunaan jabatan.
Atas dasar berbagai potensi permasalahan tersebut, para pemateri dalam seminar nasional ini menilai Rancangan KUHAP tidak bisa serta-merta disahkan tanpa perbaikan substansial.
Diharapkan pemerintah dan DPR lebih terbuka terhadap masukan dari akademisi dan pakar hukum dalam menyusun regulasi yang berdampak luas bagi sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kampus memiliki peran penting sebagai pihak yang netral dalam memberikan kajian dan rekomendasi hukum.
“Perguruan tinggi dan akademisi berperan dalam menjembatani agar setiap regulasi tetap dalam koridor yang harmonis. Kami tidak memiliki conflict of interest yang besar, sehingga bisa melihatnya lebih objektif,” tutupnya. (*)