SEMARANG — Banjir parah yang melanda wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah (Jateng) seperti Kabupaten Demak, Kudus, dan Grobogan, seringkali dikaitkan dengan sejarah keberadaan Selat Muria di masa lalu. Lantas apakah Selat Muria itu?

Diolah dari berbagai sumber, Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Muria. Selat ini dulunya merupakan daerah perdagangan yang ramai dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana.

Kendati demikian, sekitar tahun 1657, endapan sungai yang bermuara di Selat Muria terbawa ke laut. Hal ini pun menyebabkan selat semakin dangkal dan menghilang. Selat Muria pun berubah menjadi daratan dan membuat Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.

Dikutip dari laman Siagabencana.com, Selat Muria hilang akibat sedimentasi yang terjadi secara terus-menerus akibat pengangkatan Pegunungan Kendeng. Bahkan aktivitas tersebut sampai saat ini berdampak pada sedimentasi Selat Kendeng atau Danau Randublatung.

Sementara dikutip dari Geologi.co.id, pendangkalan Selat Muria pada abad ke-17 menyebabkan aktivitas pelayaran terganggu. Saat itu banyak tempat yang berubah menjadi daratan. Hanya pada musim hujan saja sampan kecil dapat melaju pada genangan air.

Menurut Awang Satyana, staf ahli SKK Migas, sedimentasi ini terjadi karena posisi Selat Muria sebagai tempat yang sangat baik untuk menerima sedimen dari berbagai arah. Di sebelah selatan selat ini terdapat perbukitan Zona Kendeng dan Zona Rembang yang dierosi oleh banyak yang sungai yang bermuara di Selat Muria.

Di bagian barat terdapat muara Sungai Serang yang berhulu jauh di lereng timur Gunung Merbabu. Sungai-sungai ini mengangkut material sedimen dari perbukitan yang dilaluinya dan mengendapkannya di Selat Muria. Sementara di sisi utara, ada Gunung Muria yang memiliki gradien kemiringan tinggi dan punya banyak sungai yang mengirim material sedimen ke selatan.

Salahuddin Husein, dosen Teknik Geologi UGM, menambahkan peran Sungai Tuntang di ujung barat sebagai salah satu faktor utama yang memengaruhi kecepatan sedimentasi Selat Muria. Bersama Sungai Serang, sungai ini membentuk pasangan delta aktif yang membangun morfologi pesisir Demak.

Bekas Wilayah
Dengan demikian, Salahuddin menggarisbawahi, pendangkalan Selat Muria didorong oleh faktor “serba ganda”. Dua delta, dua zona pegunungan sedimenter dan dua gunungapi modern menjadi penyumbang terbesar sedimentasi yang memaksa Kesultanan Demak memindahkan pusat pelabuhannya ke Jepara itu.

Jalur perniagaan di pesisir utara Jawa Tengah sampai sekarang masih aktif. Namun setelah sedimentasi mengubah Selat Muria menjadi daratan dan dilanjutkan dengan pengurugan tanah di masa, kapal-kapal dagang diganti berbagai jenis truk dan kendaraan pengangkut lainnya. Dengan asal-usul yang dekat dengan perairan, maka tidak heran jika dataran rendah bekas Selat Muria ini seperti Demak dan Kudus, kerap dilanda banjir saat musim hujan.

Menurut laman p2stekom.ac.id milik Univesitas Stekom Semarang, ada sejumlah daerah di Kudus, Jepara dan Demak, yang dulunya merupakan atau bekas Selat Muria. Daerah itu terletak di bagian utara Demak, sebagian Kudus, dan sebagian wilayah selatan Jepara. Daerah-daerah di Demak, Kudus, dan Jepara, ini pula yang kerap menjadi langganan banjir saat musim hujan. Meski demikian, apakah ada kaitannya antara banjir yang melanda di Demak dan Kudus saat ini dengan Selat Muria, tentunya masih harus dilakukan penelitian lebih jauh.

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ahmad Luthfi, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu, Kombes Pol Andhika Bayu Adhittama, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Suryadi, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, Kompol Joko Lelono, AKBP Hary Ardianto, AKBP Bronto Budiyono