hitamputih.co – Kita mesti jujur mengakui bahwa korupsi di negeri ini hingga saat ini masih mewabah. Gerakan Reformasi yang menumbangkan Orde Baru, yang tujuan luhurnya antara lain membasmi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ternyata hingga usianya yang ke-20, seperti kehilangan roh dan elan perjuangan. Korupsi masih sulit dihilangkan, malah seolah terus beranak pinak.
Pertanyaan besarnya, kenapa korupsi ibarat peribahasa patah tumbuh hilang berganti. Kalau dicari akarnya, sejatinya karena bangsa ini banyak (elite) yang ‘bermentel kere’. Kemuliaan hidup diukur dengan banyaknya materi dan tingginya jabatan yang digenggam.
Dalam cerita wayang, paradigma akan nilai hidup seperti itulah yang dipahami dan dijalani para keluarga Kurawa. Harta, takhta, dan wanita menjadi primadona yang harus diburu. Maka, apa pun mereka tempuh demi mencapai dan mempertahankannya.
Keturunan wong agung
Kalau ditilik dari bibitnya, Kurawa bukan keturunan wong pidak pedaraan atau golongan sudra. Mereka ialah cucu ‘wong agung’ Kresnadwipayana alias Abiyasa, raja Negara Astina. Kresnadwipayana ialah pemimpin yang gigih membangun bangsa berwatak kesatria.
Eyangnya Kurawa itu juga dikenal sebagai resi linuwih (hebat). Sebelum menjadi raja, ia adalah seorang petapa yang gentur di Retawu yang berada di lereng Gunung Saptaarga. Setelah lengser, ia kembali ke ‘habitatnya’ menjadi ‘ulama’ bergelar Begawan Abiyasa.
Namun, meski sebagai trah orang berbudi luhur, ternyata mereka tidak otomatis berwatak sama. Kurawa seperti tidak memiliki kaitan sedikit pun sebagai cucu resi. Perilaku mereka bertolak belakang dengan Abiyasa, titah marcapada yang sangat dihormati para dewa.
Kenapa demikian? Ini karena Kurawa digulawentah oleh Sengkuni yang kodratnya berwatak culas. Sejak kecil, Duryudana dan adik-adiknya –Kurawa berjumlah seratus orang– diajari paham kehidupan sesat. Bahwa kemuliaan hidup itu bila memiliki kekuasaan dan banyak materi.
Kalau ditelusuri, ajaran Sengkuni yang ekstrem seperti itu bersumber dari permintaan kakaknya, Gendari, ibu Kurawa. Gendari ialah istri Drestarastra, ayah Kurawa yang juga putra sulung Kresnadwipayana.
Gendari menginginkan putranya harus menjadi raja Astina. Alasannya, takhta sesungguhnya menjadi hak Drestarastra ketika Kresnadwipayana meletakkan jabatan. Namun, Drestarastra sendiri sudah merelakan kekuasaan Astina dikendalikan adiknya, Pandu Dewanata (ayah Pandawa).
Dari tangisan Gendari itu Sengkuni terus memutar otak menyusun strategi sekaligus mengeksekusinya. Siang-malam ia mencekoki keponakannya, ketika itu masih kecil-kecil, dengan dogma bahwa Kurawa tidak akan hidup mulia dan nikmat bila tidak berkuasa di Astina.
Untuk menguasainya, tidak ada cara lain selain menyingkirkan Pandawa dari marcapada. Maka, silih berganti Pandawa menjadi target pembasmian Kurawa. Tapi, meski Kurawa berhasil menguasai takhta Astina, mereka selalu gagal mengenyahkan Pandawa yang dianggap satru di muka bumi.
Ketika Kurawa berkuasa itulah Astina bangkrut. Semua kekayaan negara dijadikan bancakan, dinikmati rame-rame. Rezim Duryudana dikenal gemar berpesta pora, berfoya-foya. Tidak aneh pascaperang Bharatayuda, Pandawa menemukan Astina benar-benar komplang, ludes.
Haus kenikmatan duniawi
Sesungguhnya, sedari awal, seperti halnya Pandawa, Kurawa dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus Astina yang berwatak kesatria dan unggul. Salah satu pinisepuh Astina yang sangat peduli akan masa depan Kurawa ialah Dewabrata alias Bhisma. Ahli waris sejati Astina inilah (Bhisma adalah putra tunggal raja Astina sebelum Kresnadwipayana, Prabu Sentanu) yang mencarikan guru bagi Kurawa dan Pandawa.
Bhisma menunjuk Bambang Kumbayana (Durna) agar mendidik Kurawa dan Pandawa menjadi para kesatria utama. Tidak ada perbedaaan kurikulum yang diberikan sang guru yang berasal dari Negara Atasangin tersebut. Mereka bersama-sama belajar di Padepokan Sokalima.
Namun, meski semuanya serba sama, hasilnya berbeda. Kurawa murid yang bandel, pemalas, dan sukanya bermain. Sebaliknya, Pandawa merupakan para murid yang rajin dan tekun belajar sehingga pintar. Ujian yang digelar Durna (Pendadaran Siswa Sokalima), membuktikan bahwa Pandawa jauh unggul dalam segala hal atas Kurawa.
Pertanyaannya, kenapa mental Kurawa dan Pandawa bertolak belakang?
Di luar sekolah, sehari-hari Kurawa di samping sang paman, Sengkuni. Bapak dan ibunya (Drestarastra dan Gendari) bisa dikatakan tidak pernah menyentuh mereka. Semuanya dipasrahkan kepada Sengkuni.
Sementara itu, Pandawa, di sela-sela belajar di rumah, mendapat sentuhan pendidikan ibunya (single parent) Kunti Talibrata. Bidang yang sering ditanamkan Kunti dalam sanubari kelima putranya (Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) ialah tentang budi pekerti. Ajaran luhur yang menunjukkan mana yang baik, mana yang buruk.
Di tangan Sengkuni, Kurawa menjadi insan-insan yang sangat haus kenikmatan duniawi. Mereka kehilangan jati diri sebagai bangsa Astina yang menjunjung tinggi peradaban. Kurawa bertransformasi menjadi ‘serigala-serigala’ yang memangsa saudara sepupunya sendiri, Pandawa.
Sengkuni pada akhirnya memang berhasil mengantarkan Duryudana menjadi raja di Astina. Ia merampas kekuasaan atas takhta Astina dengan cara inskonsitusional. Pandawa, yang menjadi ahli waris malah terpental dan terusir dari tanah kelahirannya.
Dalam genggaman Kurawa, Astina yang semula kaya raya jatuh bangkrut. Bukan saja dalam arti materi tetapi juga mental. Kurawa hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka tidak memikirkan masa depan Astina. Padahal Astina didirikan Prabu Bharata bukan hanya untuk menjadi negara adidaya melainkan juga mercu suar bagi peradaban dunia.
Berbudi luhur
Seusai Bharatayuda, perang besar antara Kurawa-Pandawa di Kurusetra, eksistensi Astina
bisa dikatakan tamat. Negara itu tidak memiliki apa-apa lagi. Seluruh kekayaan negara ludes dikorup rezim Duryudana. Maka, ketika Pandawa yang memenangkan peperangan, terpaksa mengganti nama negara Astina menjadi Yawastina. Ini gabungan Astina dengan Amarta.
Poin dalam kisah tersebut ialah kehancuran Astina akibat Kurawa yang korup. Mereka kehilangan kiblat akibat ‘ajaran kere’ Sengkuni. Ini juga akibat orangtua tidak peduli kepada anak-anaknya sendiri.
Dalam konteks kebangsaan, kenapa korupsi tidak bisa dihabisi karena memang masih banyak yang ‘bermental kere’. Ini bukan hanya persoalan hukum dan kebijakan tetapi persoalan mental, watak atau kapribaden.
Kita mesti membangun generasi kesatria. Selain lewat pendidikan formal juga nonformal dalam lingkungan keluarga. Kemuliaan hidup adalah berbudi luhur yang tampak dalam praktik kehidupan sehari-hari. (MI)