DEMAK -Pegiat perlindungan anak dan perempuan mengatakan akar persoalan kasus ini adalah kurangnya edukasi seksual, pemahaman bentuk-bentuk kekerasan seksual, serta dampak hubungan seksual terhadap anak.

Kepolisian sejauh ini telah menjerat seorang pelajar laki-laki berusia 17 tahun yang duduk di bangku SMA sebagai anak berkonflik dengan hukum dan seorang pelajar SMP berusia 14 tahun sebagai anak korban.

Pelajar yang merekam dan menonton adegan kekerasan seksual ini— disebut sebagai Anak Saksi—statusnya “masih pendalaman”, kata polisi.

Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui tentang kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak di Demak.

Dari mana ini berawal?
Video adegan kekerasan seksual yang dilakukan dua pelajar di Demak beredar di media sosial beberapa hari terakhir.

Dalam video tersebut nampak anak laki-laki meniduri anak korban di lantai sudut ruangan. Beberapa barisan meja dan kursi kayu dan tirai jendela berwarna merah terlihat di ruang tersebut.

Belakangan, adegan ini diketahui terjadi di ruang kelas sebuah sekolah dasar. Sejumlah Anak Saksi lain juga ikut menonton adegan tersebut serta merekamnya.

“Selesai disetubuhi lalu Anak Korban memakai celananya kembali kemudian lari keluar dari ruangan kelas pulang naik sepeda onthel,” kata Kasat Reskrim Polres Demak, AKP Winardi, dalam keterangan tertulis.

Winardi bilang peristiwa ini terjadi pada Senin (16/09) silam, bertepatan dengan hari libur nasional memperingati Maulid Nabi Muhammad. Saat itu tidak ada aktivitas di sekolah.

Ia menambahkan, Anak Korban sudah disetubuhi sebanyak tujuh kali di tempat berbeda-beda.

“Sedangkan untuk kejadian yang terakhir dalam kelas yang videonya menjadi viral di medsos tersebut,” katanya.

Apa motif pelajar laki-laki dan apa ancaman hukumannya?
“Motif anak hingga melakukan perbuatannya tersebut karena Anak (laki-laki) sudah menjalin hubungan pacaran dengan Anak Korban sejak awal tahun 2024, dan seringnya menonton video porno di dalam handphone,” kata Winardi.

Pelajar kelas 2 SMA itu juga disebut “pelaku tunggal” dan dijerat pasal tentang persetubuhan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Atau Pasal 82 ayat (1) Jo Pasal 76E UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

“Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar,” tambah Winardi.

Bagaimana dengan Anak Saksi yang merekam peristiwa tersebut?

“Masih dalam pendalaman,” jelas Winardi.

Saat menangani kasus ini, kepolisian juga berkoordinasi dengan dinas sosial kabupaten Demak.

Bagaimana reaksi warga Demak?
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
BBC News Indonesia – Kini hadir di
Akun resmi kami di WhatsApp
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Akhir dari Whatsapp
“Ya, terkejut lah. Ini kan kejadian di luar dugaan,” kata Wahib Pribadi, 46 tahun, warga Demak kepada wartawan Nugroho yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pria yang memiliki empat anak yang masih duduk di bangku sekolah ini mengatakan peristiwa tersebut sebagai “peringatan” bagi lingkungan sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah.

“Tanggung jawab orang tua kemudian kalau pas di sekolah ya, sekolah harus memberikan memperhatikan perilaku anak-anak itu, jadi sering diingatkan lah… pemerintah daerah juga harus lebih memperhatikan hal-hal yang menonjol seperti itu,” tambah Wahib.

Warga Demak lainnya, Sari Jati, 45 tahun, mengutarakan “keprihatinan” atas kekerasan seksual yang dilakukan dan ditonton para pelajar.

“Karena itu corengan ya, buat kita sebagai orang tua, sebagai masyarakat. Apalagi Demak itu kan orang tahu kota religi, tapi ternyata masih ada kejadian yang tidak diinginkan.”

“Kita harus saling menjaga, saling mengawasi anak-anak kita bersama,” kata Sari.

Bagaimana kondisi dan kebutuhan Anak Korban saat ini?
“Kondisi psikologis anak stabil, walaupun terkadang masih suka menangis di sekolah,” kata Agus Herawan, Plt Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Kabupaten Demak.

Agus mengeklaim psikologis ibu dari Anak Korban juga diklaim “stabil”.

“Kalau bapaknya terkadang masih emosi apabila ada yang membicarakan kasus yang menimpa anaknya,” katanya.

Saat ini, lanjut Agus, Anak Korban dan orang tuanya membutuhkan penguatan psikis untuk menghadapi persidangan.

Agus mengeklaim Dinas Sosial sudah melakukan “pendampingan psikis kepada korban dan orang tuanya”.

“Selain itu juga pendampingan dengan cara berkomunikasi dengan pihak sekolah supaya korban di sekolah kondusif (tidak terjadi perundungan) sehingga korban dapat bersekolah lagi dengan baik,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Demak, Haris Wahyudi Ridwan, mengatakan Anak Korban tetap bersekolah seperti biasa. Ia memastikan pendidikannya juga akan terus berlanjut.

Kasus hukumnya juga akan terus bergulir. Sejauh ini belum mengarah pada diversi—upaya pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang menjadi alternatif penyelesaian demi kepentingan terbaik bagi anak.

“Untuk anak anak yang lain (Anak Saksi) sudah sekolah seperti biasa dan penekanan kepada para guru dan kepala sekolah untuk tetap memberikan perhatian kepada mereka”.

“Untuk selanjutnya kita akan kumpulkan dan tegaskan kepada kepala sekolah SMP Negeri dan swasta juga perwakilan kepala SD, untuk memberi porsi lebih [pada] perhatian terhadap kondisi anak-anak yang di sekolah,” jelas Haris.

Mengapa kasus seperti ini bisa terjadi?
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, menilai ini adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku anak.

“Mereka (anak-anak) tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka hanya mencontoh orang dewasa. Mereka melihat apa yang orang dewasa lakukan,” kata Ayu menjelaskan alasan mengapa dia mengategorikannya sebagai kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku anak.

Selain itu, tambah Ayu, mereka terpengaruh dari konten-konten pornografi.

“Kemudian yang ketiga, mereka kurang edukasi atau tidak adanya pemahaman terkait apa itu bentuk-bentuk kekerasan seksual. Bagaimana dampak melakukan hubungan seksual yang tidak aman, apalagi masih di usia anak” tambah Ayu.

Pada 2023 lalu, LBH APIK Semarang melaporkan telah menerima 101 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah.

Dari data tersebut, Kabupaten Demak (21) menjadi nomor dua tertinggi di Jawa Tengah dalam kasus kekerasan terhadap perempuan setelah Kota Semarang (68).

Apa artinya kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak di Demak?
Kasus ini menunjukkan kompleksitas persoalan dalam dunia pendidikan, menurut anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini.

“Termasuk lambatnya pemahaman pendidikan kesehatan reproduksi sehat yang didapat anak,” tutur Diyah.

“Di Indonesia reproduksi sehat diajarkan di SMA, mestinya sudah diajarkan sejak dini dengan penekanan yang berbeda.”

“Begitu juga dengan relasi kuasa antara guru dan murid yang pengawasannya juga belum optimal sehingga kasus seperti ini masih berulang,” ujarnya kemudian.

Periode Januari–September 2023, KPAI menerima 1800 kasus terkait pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Pada klaster perlindungan anak khusus, anak korban kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan 252 kasus.

KPAI, kata Diyah, sudah beberapa kali menangani kasus serupa di Demak.

Evaluasinya, implementasi dan sosialisasi Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan belum optimal.

“Terkadang sekolah juga menutupi kasus sehingga tidak tegas terhadap pelaku,” kata Diyah, sambil menyarankan masyarakat harus berani melaporkan jika mendapati kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak pada pihak berwenang.

Ia memperingatkan kasus seperti ini “bukan malah menyebarluaskan terutama di sosial media, terutama karena pelaku dan korban masih berusia anak”.

Bagaimana prosedur anak berhadapan dengan hukum?
Bagaimanapun, ada konsekuensi hukum meskipun pelaku adalah anak.

Dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum seperti di Demak, Diyah mewanti-wanti agar aparat penegak hukum mengedepankan Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Proses hukum terhadap anak berusia di bawah 18 tahun diatur berbeda dari orang dewasa.

Hal ini lantaran anak berhak memperoleh perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan sebagaimana Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

Dalam sistem peradilan pidana anak, terdapat status anak yang berbeda dari pidana umum. Semua anak yang terlibat dalam kasus pidana disebut sebagai “Anak yang Berhadapan dengan Hukum”.

Mereka adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun.

Lalu, Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana.

Kemudian, Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Pemerintah dan lembaga negara wajib melakukan sejumlah upaya, dan ini merupakan hak dari anak yang berhadapan dengan hukum:

penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
1. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
2. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
3. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Anak Korban juga berhak memperoleh restitusi (ganti kerugian) yang disematkan dalam tuntutan di pengadilan. Restitusi itu berasal dari pelaku kejahatan.

Hak anak selama proses pengadilan:

  1. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
  2. dipisahkan dari orang dewasa;
  3. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
  4. melakukan kegiatan rekreasional;
  5. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
  6. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
  7. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
  8. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  9. tidak dipublikasikan identitasnya;
  10. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
  11. memperoleh advokasi sosial;
  12. memperoleh kehidupan pribadi;
  13. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;
  14. memperoleh pendidikan;
  15. memperoleh pelayanan kesehatan; dan
  16. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam sistem peradilan pidana anak juga diatur bahwa setiap perkara harus mengedepankan diversi dengan pilihan penyelesain perkara di luar proses peradilan.

Namun, diversi hanya bisa dilakukan dengan syarat ancaman pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Anak juga baru bisa ditahan dengan syarat telah berumur 14 tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara tujuh tahun atau lebih.

Jika lanjut ke meja hijau, maka proses sidang berlangsung tertutup kecuali pembacaan keputusan. Anak pun tak wajib hadir di persidangan. Identitas anak yang berhadapan dengan hukum harus dirahasiakan, termasuk oleh media massa.

kampanye antikekerasan seksualSumber gambar,Getty Images

Keterangan gambar,Kampanye antikekerasan seksual
Anak yang divonis bersalah dan dijatuhi pidana penjara akan dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Sejumlah ketentuan bagi pidana Anak:

Apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.

Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 tahun.

Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.

Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun.

Ketentuan lain terkait dengan usia dan pembinaan pada Anak adalah:

Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.

Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak.

Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan Anak ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati berharap ada keseimbangan hak-hak antara pelaku dan korban dalam penegakan hukum penyelesaian kasus ini .

“Karena di sini sama-sama adalah usianya anak,” ujar perempuan yang akrab disapa Ayu tersebut.

“Dan, meskipun pelaku melakukan pengulangan, harapannya adanya rehabilitasi untuk pelaku, dan adanya penanganan pemulihan dan pemberdayaan juga untuk korban,” cetusnya.

Sumber : www.bbc.com

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo, pikadadamai, pilkadajatengdamai, pilgubjatengdamai