Berita

RKUHAP dan UU Kejaksaan Dikritik Guru Besar FH UB karena Tidak Selaras

KOTA MALANG – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Prof. Dr. I Nyoman Nujaya, menyoroti urgensi perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam bingkai Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Dalam seminar akademik di Kampus UNISMA ini, Prof. Nyoman menekankan bahwa inkonsistensi pengaturan kewenangan dalam Rancangan KUHAP dan UU Kejaksaan dapat memicu tumpang tindih kewenangan, konflik norma, hingga monopoli kewenangan dalam sistem peradilan pidana.

Dalam tema “Dilema Tumpang Tindih Kewenangan Polisi dan Jaksa” ini Prof Nyoman menjelaskan hukum pidana ada dua aspek utama. Pertama, Hukum Pidana Materiel, yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam masyarakat dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana berdasarkan KUHP maupun undang-undang pidana di luar KUHP.
Kedua, Hukum Pidana Formil, yang mengatur mekanisme penegakan hukum pidana materiel.

“Dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, hukum acara pidana berfungsi sebagai alat dalam memastikan berjalannya hukum pidana materiel secara efektif dan adil.” Ungkap Prof Nyoman (Rabu, 13/02).

Diferensiasi fungsional dalam sistem hukum mencerminkan pembagian tugas antara lembaga penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

“Meskipun masing-masing memiliki peran yang berbeda, integrasi yang harmonis diperlukan agar sistem peradilan pidana berjalan secara efektif dan tidak tumpang tindih.” Tegas Prof Nyoman

Bahkan dalam paparannya, Prof Nyoman juga menyinggung tentang Urgensi Perubahan KUHAP dan Dampaknya, ia menjelaskan bahwa perubahan KUHAP harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, serta konvensi internasional.

“Pemberlakuan KUHP nasional juga menuntut penyesuaian dalam hukum acara pidana agar konsisten dalam penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia (HAM), serta menjamin keadilan dan kepastian hukum.” Ujar Prof Nyoman.

Namun, ia menyoroti bahwa Rancangan KUHAP telah memantik pro dan kontra di kalangan masyarakat, akademisi, advokat, NGO (Organisasi Non Pemerintah), serta aparat penegak hukum.

Dalam wacana perubahan KUHAP, muncul pertanyaan fundamental: Apakah yang diperlukan adalah revisi atau penggantian total KUHAP?

Kritik terhadap Inkonsistensi pengaturan kewenangan, menurut Prof Nyoman, perubahan KUHAP seharusnya menghindari beberapa permasalahan mendasar

“Inkonsistensi pengaturan kewenangan yang menyebabkan tumpang tindih antar-institusi penegak hukum, Konflik norma berpotensi melemahkan penegakan hukum”

“Selain itu adanya Monopoli kewenangan bisa mengarah pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, Subordinasi dan superioritas dalam sistem penegakan hukum, yang dapat menghambat koordinasi dan efektivitas kerja antar-lembaga.

Prof Nyoman menyoroti beberapa pasal yang dinilai krusial dalam rancangan KUHAP, antara lain:
1. Peniadaan Tahap Penyelidikan berpotensi menghilangkan mekanisme awal dalam proses hukum yang selama ini berfungsi sebagai dasar sebelum dilakukan penyidikan.
2. Pasal 12 Ayat 8-11 terkait Penyidikan dan Peran Penuntut Umum

“Ketentuan-ketentuan ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kewenangan antara penyidik dan penuntut umum, sehingga perlu kajian lebih mendalam agar tidak menimbulkan monopoli kewenangan.” Pungkas Prof Nyoman.

Prof Nyoman menjelaskan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana, terdapat tiga pendekatan utama (Normatif, Administratif, Sosial) yang harus diterapkan secara bersamaan.

Di akhir paparannya, Prof Nyoman menegaskan pentingnya penerapan Integrated Criminal Justice System yang melibatkan sinkronisasi dalam berbagai aspek seperti Sinkronisasi Struktural, Substantial, Kultural.

Dengan banyaknya polemik yang muncul terkait Rancangan KUHAP dan UU Kejaksaan, Prof Nyoman menegaskan bahwa reformasi hukum acara pidana harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menciptakan tumpang tindih kewenangan, konflik norma, serta monopoli kekuasaan yang dapat mengancam prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Oleh karena itu, perumusan kebijakan harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas, agar tercipta sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan efektif.

Related Posts

1 of 8,098