hitamputih.co – Di antara ‘perangkat’ kodrati yang dimiliki setiap insan, salah satunya ialah watak sabar. Namun, sabar yang gampang diucapkan itu ternyata tidak mudah diterapkan (dimanfaatkan) siapa pun dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, itu tidak berlaku bagi Puntadewa. Malah, sulung keluarga Pandawa ini menjadikan sabar sebagai napas hidupnya, pun ketika jagat menggariskannya sebagai pemimpin (raja) di Amarta. Berkat laku sabar, Puntadewa bukan hanya sukses menjadi pemimpin, melainkan juga menggapai kualitas pribadi yang sederajat dengan dewa di Kahyangan.
Inilah teladan yang bisa dipetik dari Puntadewa dalam menjalani darma hidup di marcapada. Sabar yang kadang dipandang miring sebagai titik lemahnya, tetapi justru merupakan kekuatan mahadahsyat untuk meraih kemuliaan dan keluhuran hidupnya.
Suburkan kesabaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sabar berarti tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), juga berarti tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu. Makna semua itulah yang ada pada diri Puntadewa.
Sebenarnya, masih ada watak lain yang menjadi ‘darah’ putra Raja Astina Prabu Pandudewanata ini, di antaranya welas asih. Ini watak sayang kepada semua titah. Lebih dari itu, ia rela mengorbankan segalanya, termasuk nyawa, demi peradaban dunia.
Bangunan kepribadian Puntadewa seperti itu sudah tampak sejak remaja. Ia selalu sabar dan mengalah ketika ada masalah dengan keempat saudaranya, yakni Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten. Eloknya, sikapnya itu justru menjadikan adik-adiknya sangat hormat kepadanya.
Saat masih bertempat tinggal di Istana Astina, Puntadewa tekun belajar, terutama membaca kitab suci dan buku-buku spiritual. Bisa dipahami bila sejak belia, ia paham akan makna hidup. Baginya, hidup ialah laku darma yang berkelindan dengan watak sabar.
Keteguhannya pada jalur sabar itu teruji sepanjang hayatnya. Mulai yang berkadar biasa hingga yang mengancam jiwa-raganya, adik-adiknya, serta ibunya yang sangat ia bekteni (hormati), Kunti.
Ujian paling awal yang dihadapi ketika ia bersama saudaranya (Pandawa) terusir dari Istana Astina, tempat lahir sekaligus merupakan warisan orangtuanya. Ini akibat politik Kurawa yang menguasai Astina secara inkonstitusional. Puntadewa tidak melawan untuk mempertahankan haknya.
Adapun ujian yang paling menggiriskan ialah saat bersama saudara dan ibunya menjadi target pembasmian hidup-hidup. Pelakunya lagi-lagi Kurawa yang dimentori sang paman, Sengkuni. Dalam keadaan tidur pada dinginnya dini hari, tempat tinggal mereka dibakar hingga ludes jadi abu. Akan tetapi, Pandawa selamat tidak kurang satu apa pun.
Bagaimana reaksi Puntadewa pascakejadian itu? Ia anggap itu peristiwa biasa, bukan apa-apa. Ia tidak marah, apalagi benci atau dendam kepada Kurawa. Ia malah menasihati adiknya, Bratasena, yang sangat emosional dan ingin membalas kejahatan Kurawa.
Setiap saat, terutama ketika Pandawa sedang tertimpa lelakon (kemalangan), Puntadewa menasihati adik-adiknya agar selalu menyuburkan kesabaran dan tidak bersedih. Ia pun mejang (memberi pencerahan) saudaranya untuk membuang kebencian terhadap siapa pun yang telah membuatnya merana.
Tidak pernah membenci
Lalu, bagaimana ketika Puntadewa berkuasa? Ia tetap sabar dan sosok bersahaja yang tidak pernah menampakkan diri sebagai penguasa negara. Sebaliknya, ia berperilaku sebagai pelayan rakyat. Kepada siapa pun, ia bersikap rendah hati, murah hati, ramah, sopan, dan santun.
Meski sebagai pemimpin besar, Puntadewa kalis dari watak adigang, adigung, adiguna, yang mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian. Setiap persoalan diselesaikan tanpa konfrontasi. Senantiasa mencari solusi tanpa menimbulkan perselisihan.
Sikap demikian ini menjadi olok-olok Kurawa. Puntadewa dianggap tidak memiliki pendirian. Plonga-plongo (bodoh), lemah, dan penakut, yang dalam bahasa Kurawa disebut wedi getih. Namun, tak sedikit pun Puntadewa tersinggung atas semua penghinaan dan fitnah itu.
Pada suatu ketika, sikapnya ini dimanfaatkan Kurawa. Puntadewa diajak main dadu. Ini memang permainan yang disukainya ketika masih kecil. Namun, sejak meninggalkan Istana Astina, ia telah meninggalkannya.
Puntadewa mencium ajakan Kurawa itu taktik politik kotor. Namun, dengan dalih tidak ingin mengecewakan kakak sepupu, Duryudana (sulung Kurawa), ia meladeninya dengan sabar. Konsekuensinya, Pandawa akhirnya kehilangan kekuasaan atas Negara Amarta.
Bukan itu saja, permaisurinya, Dewi Drupadi, menjadi objek pelecehan seksual Kurawa. Pandawa juga mesti menjalani hukuman pembuangan di Hutan Kamyaka selama 12 tahun ditambah satu tahun hidup menyamar.
Apa reaksi Puntadewa? Ia tidak mempersoalkan semuanya itu. Ia tabah, rela, dan ikhlas apa yang telah terjadi pada dirinya dan keluarganya. Hingga akhir hayatnya, Puntadewa tidak pernah membenci Kurawa atau siapa pun yang pernah menyusahkannya.
Dalam dunia pakeliran, hanya ada satu kali Puntadewa mengamuk. Itu pun karena ‘rongrongan’ Drupadi ketika Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten menjalani hukuman dewa di Kawah Candradimuka. Ketika itu, keempatnya menggantikan ‘dosa’ Puntadewa yang dituduhkan dewa karena mengenakan gelung keling di kepalanya yang merupakan pakaian penghuni Kahyangan.
Puntadewa yang bertiwikrama dengan nama Dewa Amral mengubrak-abrik Kahyangan tanpa ada dewa yang mampu menandingi. Dewa Amral memberikan pelajaran kepada penghuni Kahyangan agar tidak bertindak semena-mena.
Menggapai keadaban
Itulah sekilas kisah Puntadewa menjalani hidup. Ia contoh ekstrem insan berbudi luhur. Bagi yang tidak bisa memahami, kecuali kaum sufi, Puntadewa sering dianggap sebagai titah yang tidak memiliki harga diri. Padahal, dengan caranya itulah, Puntadewa menuai kebenaran hidup.
Baginya, hidup di dunia fana ini ibarat mampir ngombe (secepat mampir minum). Hidup mesti dilakoni sebagai momentum untuk menyucikan diri. Jadi, tidak pada tempatnya manusia mengumbar kemarahan dalam menjalani hidup, apalagi hanya karena urusan duniawi yang sejatinya menjerumuskan.
Jika dikontekskan dengan situasi kebangsaan kekinian, kita semua perlu belajar kesabaran pada Puntadewa. Kesabaran merupakan modal sekaligus proses hidup menggapai keadaban yang merupakan jati diri bangsa ini. (MI)