#SatgasAntiBlackCampaignJateng Creativ by agussaibumi– #pilkadajateng 2018 #pilkadadamai #pilgubjateng2018 #tribratanews.jateng.polri.go.id
Ledakan bom terjadi di sejumlah lokasi di Surabaya pada hari ini, Minggu (13/5). Foto dan video rekaman kejadian pun dengan cepat banyak berseliweran di media massa, media sosial, sampai aplikasi pesan instan di ponsel pintar. Tak cuma itu, berita hoax juga mampir di media sosial.
Sejumlah penelitian, di antaranya yang pernah diterbitkan National Library of Medicine AS, pernah menunjukkan bahwa efek psikologis dan emosional negatif dapat terjadi dengan paparan media.
Misalnya, jutaan orang menyaksikan liputan televisi dan gambar grafis berulang dari insiden teror 11 September. Sebuah studi 2013 menemukan bahwa orang-orang yang menonton laporan media tentang serangan mengalami tekanan pasca-trauma dan gejala kesehatan fisik selama bertahun-tahun sesudahnya.
Survei ini mengukur paparan media dan respons stres akut. Hasilnya, mereka yang terkena paparan televisi dan frekuensi paparan gambar insiden diprediksi terjangkit gejala stres pascatrauma 2 hingga 3 tahun setelah 9/11.
Psikolog Anna Surti Ariani dalam perbincangannya dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa trauma terjadi bukan hanya karena mengalami, berada di lokasi kejadian, atau terluka karena kejadian tersebut. Namun trauma juga bisa terjadi karena melihat infomasi.
“Tapi sebenarnya melihat, mendengar banyak info dari media sosial atau berita yang belum tentu benar tentang suatu kejadian itu juga akan menimbulkan trauma tersendiri,” katanya CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Senada dengan Anna Surti, Psikolog Melly Puspita Sari mengungkapkan bahwa trauma pasca-kejadian tertentu dibagi menjadi dua bagian besar yakni, trauma primer dan trauma sekunder.
Trauma karena paparan media, media sosial yang menampilkan berbagai foto korban dan informasi hoax ini dikenal dengan sebutan trauma sekunder.
“Trauma sekunder ini berarti adanya rasa negatif yang muncul akibat mengetahui sebuah informasi tertentu,” katanya.
Dia menambahkan bahwa jika trauma sekunder ini dibiarkan berlarut-larut maka akan menyebabkan adanya pelabelan negatif terhadap suatu hal yang digeneralisasikan.
“Beredar informasi, misal pelaku terorisme itu Muslim, jenggotan, itu salah. Padahal sebenarnya pelaku teror itu bisa siapa saja.”
Jadi apa efek psikologis dan kesehatan dari paparan peristiwa traumatis seperti ini?
Peristiwa traumatis adalah pengalaman yang dianggap sebagai ancaman terhadap keselamatan atau stabilitas seseorang dan yang menyebabkan tekanan fisik, emosional dan psikologis atau bahaya.
Dengan kata lain, ini adalah peristiwa yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia normal dan reaksi bervariasi sesuai dengan individu.Trauma, seperti dikutip dari The Conversation, didefinisikan oleh American Psychological Association sebagai respons psikologis dan emosional terhadap peristiwa-peristiwa mengerikan tersebut.
Peristiwa traumatis tidak selalu penuh kekerasan. Mereka dapat berkisar dari peristiwa berpindah ke tempat baru, bencana, atau bahkan perang.
Bagi kebanyakan orang, trauma dialami selama dan segera setelah kejadian. Tetapi bagi banyak orang, trauma itu mungkin diingat selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Reaksi terhadap peristiwa
Reaksi psikologis dan emosional yang umum terhadap peristiwa traumatik termasuk emosi yang kuat, mimpi buruk dan ingatan akan hal tersebut terus-menerus, gangguan makan dan tidur, reaksi panik terhadap bau atau suara yang tiba-tiba, masalah hubungan, iritabilitas dan gejala fisik.
Meskipun bagi sebagian orang mengalami tekanan ini adalah reaksi normal terhadap pengalaman yang traumatis. Namun, tidak semua orang memiliki reaksi yang sama terhadap trauma, atau pulih dengan cara yang sama, atau dalam jangka waktu tertentu.
Penelitian telah menunjukkan bahwa ada variabilitas yang luas dalam pemulihan dari trauma, dengan sedikit indikasi mengenai siapa yang akan pulih relatif cepat dan siapa yang tidak.
Dalam upaya mengatasi trauma ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Di antaranya mengatasi trauma dalam diri sendiri, lewat berbicara dengan teman yang mendukung, bergabung dengan kelompok pendukung, menyediakan waktu untuk menyesuaikan diri dan membangun kembali rutinitas.
Dianjurkan untuk menghindari atau menyangkal apa yang dialami, karena ini contoh pemulihan yang lebih buruk dari trauma. Ini bisa berarti lebih banyak gejala negatif seperti depresi yang berlanjut, mematikan rasa emosional dan kesulitan dalam berkomunikasi serta menjalin hubungan dengan orang lain.
sumber : cnn