JAKARTA – Akhir-akhir ini, ramai wacana polri dikembalikan di bawah naungan TNI atau Kemendagri. Pakar Hukum Ilmu Pidana, Ayu Dian Ningtias Universitas Islam Lamongan (Unisla). mengaku wacana itu sangat bertentangan dalam pandangan ilmu hukum pidana khususnya.
“Status atau eksistensi kepolisian dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana (SPP) sudah jelas, yaitu sebagai bagian integral dari SPP,” kata Ayu dalam keterangannya, Minggu (1/12/2024).
Menurut Ayu, berdasarkan tugas polri adalah kepolisian nasional di Indonesia, yang bertanggungjawab langsung di bawah Presiden. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pada awal mulanya, kata Ayu, Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun, sejak dikeluarkan UU Kepolisian No 2 Tahun 2002, status Kepolisian Republik Indonesia sudah tidak lagi menjadi bagian dari ABRI. Hal ini dikarenakan adanya perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.
Secara internasional, lanjut Ayu, hal ini terlihat dalam laporan Kongres PBB ke-5/1975 (mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders khususnya dalam membicarakan masalah “the emerging roles of the police and other law enforcement agencies”) yang menegaskan It was recognized that the police were a component of the larger system of criminal justice which operated against criminality (Diakui bahwa polisi adalah komponen dari sistem peradilan pidana yang lebih besar yang beroperasi melawan kriminalitas).
“Nah Kalau kekuasaan kehakiman diartikan hanya sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, seperti tercantum dalam pasal 1 UU RI Nomor 4 tahun 2004. Perumusan demikian memberi kesan sempit, bahwa kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan peradilan, atau kekuasaan mengadili, menurut hemat penulis kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk menegakkan hukum/undang-undang,” ujarnya.
Dalam presfektif sistem peradilan pidana kekuasaan kehakiman diimplementasikan dengan 4 tahap yaitu: Kekuasaan penyidikan Kekuasaan penuntutan Kekuasaan mengadili Kekuasaan pelaksaan putusan/pidana. Keempat tahap itu merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana yang integral), jelas dalam Dalam KUHAP tercantum mengenai siapa saja yang boleh melakukan penyidikan dan penyelidikan, dimana yang boleh melakukan penyidikan disebut dengan penyidik diatur dalam pasal 1 butir 1 KUHAP yang menyatakan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
“Sedangkan yang berhak melakukan penyelidikan yang kemudian disebut dengan penyelidik, diatur dalam pasal 1 butir 4 bahwa “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang, kepolisian dalam hal ini sebagai penegak hukum haruslah mandiri dalam sistem peradilan pidana,” jelasnya.
sumber: detikjatim